السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Selamat Datang Di Dunia Blog suNNy



Minggu, 12 Februari 2012

●".◇◆ Pengajaran Dari Nabi Yunus Alaihissalam ✿✦✿Tentang MUHASABAH... ◇◆."●

oleh Strawberry pada 10 Februari 2012 pukul 19:30 ·

ღ☆ღ بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ღ☆ღ

★★ السلام عليكم ورحمة الله و بركاته ★★

Allah mengutuskan Rasul dari kalangan manusia, bukan dari malaikat untuk manusia mengambil pengajaran dari mereka.

Nabi Yunus Alaihissalam yang merupakan seorang Nabi yang diutuskan Allah kepada satu kaum di Ninawa. Dia berdakwah dan menyeru agar kaumnya kembali kepada Allah Shubhanahu wa Ta ' ala.

Dia diuji oleh Allah Shubhanahu Wa Ta 'ala, dengan keingkaran kaumnya, sehingga ke satu tahap, dia tidak mampu bersabar, lantas meninggalkan tugasnya sebagai Rasul Allah Shubhanahu Wa Ta ' ala.

Dia menuding jari kepada kaumnya yang ingkar, menyalahkan mereka karena tidak menerima dakwahnya.

Firman Allah Shubhanahu Wa Ta ' ala: "Ketika dia (yakni Nabi Yunus) pergi dalam keadaan marah... " (al-Anbiya' : 78)

♥~✿~♥.•*´`*•.♥♥.•*´`*•.(`'•.¸*¤* ¸.•'´) .•*´`*•.♥♥.•*´`*•.♥~✿~♥

ALLAH MEREFORMASI RASUL-NYA ...

Manusia, memang ada kelemahanya. Namun, kelemahan Rasul dan Nabi, tidak berkait dengan dosa besar.

Hal ini karena, itu akan menjadi kelemahan pada dakwahnya. Sebab itu Allah Shubhanahu Wa Ta ' ala menjadikan mereka maksum. Tetapi, Allah mengutuskan rasul dari kalangan manusia, bukan dari malaikat adalah untuk manusia mengambil pengajaran dari mereka.

Maka, dalam kisah Nabi Yunus Alaihissalam, Allah Shubhanahu Wa Ta ' ala telah mereformasi diri rasul-Nya itu. Kesilapan Nabi Yunus Alaihissalam meninggalkan dakwahnya dengan terburu-buru, tidak dibiarkan oleh Allah Shubhanahu Wa Ta ' ala begitu saja.

Ketika Nabi Yunus menaiki kapal untuk menjauhi Ninawa, telah terjadi badai yang mampu membuat kapal nyaris tenggelam. Mereka membuat undian, dan Allah menjadikan Nabi Yunus yang dilontarkan ke laut. Sebaik saja dilontar, Allah Shubhanahu Wa Ta ' ala terus menghantar ikan Nun (paus) untuk menelan Nabi Yunus Alaihissalam.

♥~✿~♥.•*´`*•.♥♥.•*´`*•.(`'•.¸*¤* ¸.•'´) .•*´`*•.♥♥.•*´`*•.♥~✿~♥

MENUDING PADA DIRI ...

Bagi siapa yang mempelajari ilmu pengetahuan, dia akan mengetahui bahwa ikan paus adalah mamalia.

Siapapun yang ditelan oleh ikan paus, maka dia akan kesesakan nafas di dalamnya.

Di dalam perut ikan paus juga, mengandungi asam 12 kali lebih kuat dari asam perut manusia.

Nabi Yunus Alaihissalam , berada dalam gelap perut ikan paus itu. Adakah dia mengutuk Allah Shubhanahu Wa Ta ' ala atas nasibnya ?.. Adakah dia memarahi kaumnya atas musibah yang menimpanya ? .. Adakah dia membenci ahli kapal yang melontarnya ? .. Jawabannya adalah tidak.

Dia tidak menuding jari pada siapapun. Kecuali kepada dirinya sendiri.

Sebaik saja dia berada dalam kegelapan itu, dia menyadari silapnya dan langsung berdoa :

"Tiada Tuhan melainkan Kau (Ya Allah), Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku ini termasuk kalangan orang-orang yang zalim (yakni zalim terhadap diri sendiri, karena berputus asa)." (al-Anbiya' : 87)

Nabi Yunus Alaihissalam menuding pada dirinya dan menyalahkan dirinya sendiri.

♥~✿~♥.•*´`*•.♥♥.•*´`*•.(`'•.¸*¤* ¸.•'´) .•*´`*•.♥♥.•*´`*•.♥~✿~♥

JAWABAN ALLAH ...

Allah serta-merta mengarahkan ikan paus itu ke pantai, kemudian memuntahkan Nabi Yunus Alaihissalam sebelum sempat asam di dalam perut ikan paus iti merusakkan tubuhnya. Dan sebelum Nabi Yunus tercekik, sesak nafas di dalamnya.

Apakah jawaban Allah Shubhanahu Wa Ta ' ala ? ..

"Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah (berzikir/bertasbih), niscaya dia akan tetap tinggal di dalam perut ikan paus itu sampai hari berbangkit."(Ash-Shoffaat : 143-144).

Allah melepaskan Nabi Yunus Alaihissalam , kemudian menjayakan pula dakwahnya selepas beliau kembali pada kaumnya, selepas dia berjaya mereformasi dirinya.

Hanya selepas Nabi Yunus ini menyadari kesilapannya dan melakukan perbaikan terhadap dirinya.

♥~✿~♥.•*´`*•.♥♥.•*´`*•.(`'•.¸*¤* ¸.•'´) .•*´`*•.♥♥.•*´`*•.♥~✿~♥

KITA DAN IKAN PAUS KITA ...

Kita diuji oleh Allah Shubhanahu Wa Ta ' ala dengan "ikan paus". Ikan paus dunia.

Di dalam perut ikan paus dunia ini, wujud zat-zat asam jahiliah yang menghancurkan pribadi kita, merusakkan pemikiran kita dan anak-anak kita.

Kita sering menuding jari pada ikan paus kita.

Kita katakan televisi perusak. Kita katakan zionos merancang itu dan merancang ini. Kita tunjuk jari pada orang itu dan orang ini. Menyalahkan segalanya, selain kita.

♥~✿~♥.•*´`*•.♥♥.•*´`*•.(`'•.¸*¤* ¸.•'´) .•*´`*•.♥♥.•*´`*•.♥~✿~♥

LIHATLAH KEPADA YUNUS ...

Allah hanya melepaskannya, selepas dia berjaya menyadari kesilapannya, dan bertaubat memperbaiki dirinya.

Kita juga sama.

Kita hanya bisa keluar dari perut "ikan paus" dunia ini, hanya apabila kita berjaya menyadari kesilapan kita, dan memperbaiki diri kita. Jika tidak, mungkin Allah tidak membantu kita.

Pertolongan Allah, hanya untuk mereka yang berusaha.

"Sesungguhnya Allah itu tidak akan mengubah nasib sesuatu kaum, melainkan kaum itu berusaha terlebih dahulu, mengubah apa yang ada di dalam dirinya."(Ar-Ra 'd : 11)

oleh itu, sama-samalah kita mengambil pengajaran dari kisah Nabi Yunus Alaihissalam ini.

Kita juga sepatutnya mengambil contoh kisah Nabi Yunus Alaihissalam dengan mereformasi diri kita.

Semangat Karena ALLAH 'tuk Meraih ridhoNya ♥^_^

Ya... ALLAH ..I Want To Be A Good Muslim

Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/

Wanita yang Aduannya Didengar Allah dari Langit Ketujuh

oleh Strawberry pada 13 Februari 2012 pukul 11:04 ·

Penyusun: Ummu Sufyan

Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa’labah Ghanam bin Auf. Suaminya adalah saudara dari Ubadah bin Shamit, yaitu Aus binShamit bin Qais. Aus bin Shamit bin Qais termasuk sahabat Rasulullah yang selalu mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan, termasuk perang Badar dan perang Uhud. Anak mereka bernama Rabi’.Suatu hari, Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya sedang menghadapi suatu masalah.

Masalah tersebut kemudian memicu kemarahannya terhadap Khaulah, sehingga dari mulut Aus terucap perkataan, “Bagiku, engkau ini seperti punggung ibuku.” Kemudian Aus keluar dan duduk-duduk bersama orang-orang. Beberapa lama kemudian Aus masuk rumah dan ‘menginginkan’ Khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah islam (yaitu dhihaar ).

Khaulah berkata, “Tidak… jangan! Demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku sampai Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita.”

Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa dan berdialog tentang peristiwa tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami belum pernah mendapatkan perintah berkenaan dengan urusanmu tersebut… aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”

Sesudah itu Khaulah senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Beliau berdo’a, “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu tentang peristiwa yang menimpa diriku.”

Tiada henti-hentinya wanita ini ini berdo’a hingga suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pingsan sebagaimana biasanya beliau pingsan tatkala menerima wahyu.

Kemudian setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sadar, beliau bersabda, “Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan ayat Al-Qur’an tentang dirimu dan suamimu.” kemudian beliau membaca firman Allah yang artinya,

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat….. ”

sampai firman Allah: “Dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang pedih.” (QS. Al-Mujadalah:1-4)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarah dhihaar, yaitu memerdekakan budak, jika tidak mampu memerdekakan budak maka berpuasa dua bulan berturut-turut atau jika masih tidak mampu berpuasa maka memberi makan sebanyak enam puluh orang miskin.

Inilah wanita mukminah yang dididik oleh islam, wanita yang telah menghentikan khalifah Umar bin Khaththab saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, “Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari maka aku tidak akan menyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka saya akan mengerjakan shalat kemudian kembali untuk mendengarkannya hingga selesai keperluannya.”

Alangkah bagusnya akhlaq Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdialog untuk meminta fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan melainkan hanya kepada Allah Ta’ala. Beliau berdo’a tak henti-hentinya dengan penuh harap, penuh dengan kesedihan dan kesusahan serta penyesalan yang mendalam. Sehingga do’anya didengar Allah dari langit ketujuh.

Allah berfirman yang artinya, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah (berdo’a) kepada–Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min: 60)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Rabb kalian Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi itu Maha Malu lagi Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya jika hamba-Nya mengangkat kedua tangannya kepada-Nya untuk mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/

IBADAH BAGI WANITA DI MASA HAID ... ... IBADAH BAGI WANITA DI MASA HAID ...

oleh Strawberry pada 11 Februari 2012 pukul 7:53 ·
Bismillahir-Rahmanir-Rahim .... Apa saja ibadah yang dibolehkan bagi wanita di kala haidh? Ada penjelasan amat bagus dari seorang ulama besar saat ini, Syaikh Kholid Al Mushlih, murid senior Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah.

Syaikh Kholid bin ‘Abdillah Al Mushlih hafizhohullah menerangkan:

Haidh dan nifas adalah suatu ketetapan Allah bagi kaum hawa karena ada hikmah dan rahmat di balik itu semua. Para ulama telah sepakat (baca: ijma’) bahwa wanita haidh dan nifas dilarang melakukan shalat yang wajib maupun yang sunnah, serta tidak perlu mengqodho’ (mengganti) shalatnya.

Begitu pula para ulama sepakat bahwa wanita haidh dan nifas dilarang berpuasa yang wajib maupun yang sunnah selama masa haidhnya. Namun mereka wajib mengqodho’ puasanya tersebut.

Para ulama pun sepakat bahwa wanita haidh dan nifas boleh untuk berdzikir dengan bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), dan dzikir lainnya.

Adapun membaca Al Qur’an tentang bolehnya bagi wanita haidh dan nifas terdapat perselisihan pendapat. Yang tepat dalam hal ini, tidak mengapa wanita haidh dan nifas membaca Al Qur’an sebagaimana akan datang penjelasannya. Begitu pula tidak mengapa wanita haidh dan nifas melakukan amalan sholih lainnya selain yang telah kami sebutkan ditambah thowaf.

Dalam riwayat Bukhari (294) dan Muslim (1211) dari jalur ‘Abdurrahman bin Al Qosim, dari Al Qosim bin Muhammad, dari ‘Aisyah, ia berkata, “Aku pernah keluar, aku tidak ingin melakukan kecuali haji. Namun ketika itu aku mendapati haidh. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya mendatangiku sedangkan aku dalam keadaan menangis. Belia berkata, “Apa engkau mendapati haidh?” Aku menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Ini sudah jadi ketetapan Allah bagi kaum hawa. Lakukanlah segala sesuatu sebagaimana yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thowaf keliling Ka’bah.”

Dari sini maka hendaklah laki-laki dan perempuan bersemangat untuk melakukan berbagai kebaikan. Tidak sepantasnya melarang wanita di masa haidh dan nifasnya dari berbagai kebaikan lainnya karena ini merupakan tipu daya syaithon.

Mereka hanya terlarang melakukan shalat, puasa, dan thowaf, sedangkan yang lainnya mereka boleh menyibukkan diri dengannya.

Adapun khusus untuk membaca Al Qur’an bagi wanita haidh, maka di sini terdapat perselisihan di kalangan para ulama rahimahullah. Ada tiga pendapat dalam masalah ini:

Pendapat pertama: Bolehnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dan nifas, asalkan tidak menyentuh mushaf Al Qur’an. Inilah pendapat dari Imam Malik, juga salah satu pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Al Bukhari, Daud Azh Zhohiri, dan Ibnu Hazm.

Pendapat kedua: Bolehnya membaca sebagian Al Qur’an, satu atau dua ayat, bagi wanita haidh dan nifas. Ada yang menyebutkan bahwa tidak terlarang membaca Al Qur’an kurang dari satu ayat.

Pendapat ketiga: Diharamkan membaca Al Qur’ab bagi wanita haidh dan nifas walaupun hanya sebagian saja. Inilah pendapat mayoritas ulama, yakni ulama Hanafiyah, ulama Syafi’iyah, ulama Hambali dan selainnya. Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa inilah pendapat kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalangan tabi’in dan ulama setelahnya.

Setiap pendapat di atas memiliki dalil pendukung masing-masing. Namun yang terkuat menurut kami adalah bolehnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dan nifas.

Inilah pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Seandainya wanita haidh terlarang membaca Al Qur’an, tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya dengan penjelasan yang benar-benar gamblang, lalu tersampaikanlah pada kita dari orang-orang yang tsiqoh (terpercaya).

Jika memang benar ada pelarangan membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dan nifas, tentu akan ada penjelasannya sebagaimana diterangkan adanya larangan shalat dan puasa bagi mereka. Kita tidak bisa berargumen dengan dalil pelarangan hal ini karena para ulama sepakat akan kedho’ifannya. Hadits yang dikatakan bahwa para ulama sepakat mendho’ifkannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),

“Tidak boleh membaca Al Qur’an sedikit pun juga bagi wanita haidh dan orang yang junub.”

Imam Ahmad telah membicarakan hadits ini sebagaimana anaknya menanyakannya pada beliau lalu dinukil oleh Al ‘Aqili dalam Adh Dhu’afa’ (90), “Hadits ini batil. Isma’il bin ‘Iyas mengingkarinya.” Abu Hatim juga telah menyatakan hal yang sama sebagaimana dinukil oleh anaknya dalam Al ‘Ilal (1/49). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya (21/460), “Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana kesepakatan para ulama pakar hadits.”

Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Fatawanya (26/191), “Hadits ini tidak diketahui sanadnya sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini sama sekali tidak disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, tidak pula Nafi’, tidak pula dari Musa bin ‘Uqbah, yang di mana sudah sangat ma’ruf banyak hadits dinukil dari mereka.

Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudang seringkali mengalami haidh, seandainya terlarangnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh/nifas sebagaimana larangan shalat dan puasa bagi mereka, maka tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menerangkan hal ini pada umatnya.

Begitu pula para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya dari beliau. Tentu saja hal ini akan dinukil di tengah-tengah manusia (para sahabat). Ketika tidak ada satu pun yang menukil larangan ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tentu saja membaca Al Qur’an bagi mereka tidak bisa dikatakan haram. Karena senyatanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang hal ini. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak melarangnya padahal begitu sering ada kasus haidh di masa itu, maka tentu saja hal ini tidaklah diharamkan.”

Syaikhul Islam telah menjelaskan secara global tentang pembolehan membaca Al Qur’an bagi wanita haidh dengan menyebutkan kelemahan hadits yang membicarakan hal itu.

Syaikhul Islam mengatakan dalam Majmu’ Al Fatawa (21/460),

“Sudah begitu maklum bahwa wanita sudah seringkali mengalami haidh di masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak ditemukan bukti beliau melarang membaca Al Qur’an kala itu. Sebagaimana pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang berdzikir dan berdo’a bagi mereka. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan kepada para wanita untuk keluar saat ied, lalu bertakbir bersama kaum muslimin. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan kepada wanita haidh untuk menunaikan seluruh manasik kecuali thawaf keliling ka’bah. Begitu pula wanita boleh bertalbiyah meskipun ia dalam keadaan haidh. Mereka bisa melakukan manasik di Muzdalifah dan Mina, juga boleh melakukan syi’ar lainnya.”Fatwa 22-8-1427

Kesimpulan:

Wanita haidh dan nifas masih boleh membaca Al Qur’an namun tidak boleh menyentuhnya. Jika ingin menyentuhnya hendaknya menggunakan sarung tangan dan pembatas lainnya. Sedangkan shalat dan puasa tidak boleh dilakukan oleh wanita haidh dan nifas. Begitu pula dilarang untuk thowaf. Adapun ibadah selain itu masih dibolehkan. Maka tidak perlu khawatir untuk berdzikir dan membaca Al Qur'an (asal tidak menyentuhnya) di masa haidh.

Diselesaikan di Soekarno Hatta Airport, saat buka puasa 27 Ramadhan 1431 H (6 September 2010), saat Safar Jakarta-Jogja.Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

~ o ~

Minggu, 05 Februari 2012

Membudayakan "Jazakallah Khairan" (dan Bagaimana Menjawabnya)

Written By Admin BeDa on Senin, 06 Februari 2012 | 12:00


"Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, dia tidak berterima kasih kepada Allah." Kalimat ini adalah terjemahan dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya.

مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ

Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, dia tidak berterima kasih kepada Allah (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al-Albani)

Ada hadits lain yang senada dengan hadits di atas, yang juga berderajat shahih.

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidak bersyukur kepada Allah, siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Dishahihkan oleh Al-Albani)

Diantara bentuk paling mudah dari berterima kasih adalah melalui ucapan. Minimal, melalui ucapan itulah seseorang berterima kasih kepada orang lain atas kebaikan yang telah ia berikan. Baik kebaikan itu berupa pertolongan, pemberian, maupun dukungan baik materi maupun non materi.

Membudayakan berterima kasih, dengan demikian adalah salah satu ajaran Islam. Namun, bagaimana ucapan terima kasih yang terbaik?

Rasulullah SAW menjelaskan dalam haditsnya :

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

Barangsiapa diperlakukan baik oleh orang lain kemudian ia berkata kepadanya "jazaakallah khairan" (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka ia telah memujinya dengan setinggi-tingginya. (HR. Tirmidzi, Al Albani berkata: "shahih")

Dalam hadits lain disebutkan :

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيهِ : جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

Jika seseorang berkata kepada saudaranya "jazaakallah khairan" (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka ia telah memujinya dengan setinggi-tingginya. (HR. Thabrani, Al Albani berkata: "shahih li ghairihi")

Demikianlah jazakallah khairan adalah ungkapan terima kasih terbaik karena ia merupakan pujian tertinggi kepada saudara kita atas kebaikan yang telah dilakukannya. Ucapan jazakallah khairan itu juga merupakan doa baginya.

Bagaimana jika yang melakukan kebaikan itu adalah akhwat, mengingat "jazakallah khairan" adalah untuk ikhwan? Untuk akhwat adalah "jazakillah khairan". Jadi huruf "kaf" dikasrah. Pada ikhwan (bentuk mudzakkar) huruf "kaf" difathah.

Penggunaan "jazakillah khairan" ini seperti yang tercantum dalam hadits shahih Bukhari ketika Usaid bin Hudhair berterima kasih kepada Aisyah :

فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ لِعَائِشَةَ جَزَاكِ اللَّهُ خَيْرًا ، فَوَاللَّهِ مَا نَزَلَ بِكِ أَمْرٌ تَكْرَهِينَهُ إِلاَّ جَعَلَ اللَّهُ ذَلِكِ لَكِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ خَيْرًا

Sedangkan jika ucapan itu ditujukan kepada banyak orang (jamak) maka ia berubah menjadi "jazaakumullah khairan."

Terkadang kita jumpai, sebagian orang mengucapkan "jazakallah". Itu sebenarnya tidak lengkap karena artinya adalah "semoga Allah membalasmu". Kalau lengkap "jazaakallah khairan" artinya adalah "semoga Allah membalasmu dengan kebaikan." Kadang ada juga yang ditambahi "jazaakallah khairan katsiiran" artinya adalah "semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang banyak." Seyogyanya kita menghindari "jazaakallah khair" karena dalam gramatikal Arab artinya menjadi tidak jelas: "semoga kebaikan membalasmu dengan Allah."

Lalu bagaimana jika orang lain yang mengucapkan "jazaakallah khairan" kepada kita? Bagaimana jawaban "jazaakallah khairan" itu?

Sayangnya, dalam hadits tidak disebutkan jawaban dari jazakallah khairan, termasuk tidak disebutkan jawaban Aisyah ketika Usaid bin Hudhair mengucapkan jazakillah khairan kepadanya.

Sebagian ulama menjelaskan, memang tidak ada kesunahan jawaban tertentu untuk ucapan "jazakallah khairan." Sebagian ulama mempersilakan menjawab "amin" karena pada dasarnya "jazakallah khairan" adalah doa. Ada juga ulama yang mempersilakan menjawab dengan "afwan" karena ucapan "jazakallah khairan" itu adalah ucapan terima kasih (bentuk tertinggi pengganti "syukran"). Ada juga yang menggunakan "waiyakum" dengan maksud mendoakan kembali orang yang mengucapkan "jazakallah khairan."

Wallaahu a'lam bish shawab
. Yang pasti, membudayakan "jazaakallah khairan" adalah lebih baik daripada "syukran" atau "terima kasih", khususnya diantara sesama ikhwah atau aktifis dakwah yang sama-sama mengerti tentang maksud dan dalilnya. Kepada masyarakat umum, tentu yang ideal adalah mengkomunikasikan dan mendakwahkan agar mereka mengerti. Tidak langsung memaksakan penggunaannya hingga menimbulkan kebingungan. []